Jumat, 27 Januari 2017

Mendambakan Al Qur’an Sebagai Kenikmatan Seperti Kita Mendambakan Harta


“Tidak boleh iri kecuali dalam dua kenikmatan: seseorang yang diberi Al-Qur’an oleh Allah kemudian ia membacanya sepanjang malam dan siang, dan orang yang diberi harta oleh Allahlalu ia membelanjakannya di jalan Allah sepanjang malam dan siang.”(Muttafaqun ‘alaih)

Melihat orang yang hartanya berlimpah tentu membuat kita pun mendambakannya. Hal itu lumrah dan fitrah, tetapi juga sekaligus menjadi fitnah bagi manusia. Tetapi percayalah bahwa keimanan yang baik tidak saja menjadikan manusia memimpikan kepemilikan harta dunia tetapi juga memimpikan dan menginginkan akhirat. 

Dengan iman, ketika kita melihat orang lain yang memiliki kelebihan dalam urusan akhiratnya, misalnya ia sangat baik interaksinya dengan Al Qur’an, hafalannya banyak, rajin beribadah, serta banyak kontribusinya dalam aktifitas dakwah, maka kita pun sangat mendambakannya. 

Itulah yang disebut ghibthah, yaitu menginginkan kenikmatan yang ada pada orang lain tanpa membenci dan mengharapkan hilangnya nikmat dari orang tersebut.

Berikut ini beberapa perasaan yang harus menjadi pertanyaan dan perhatian kita:

1. Adakah perasaan iri (ghibthah) dalam diri kita ketika melihat saudara kita memiliki kemampuan berinteraksi dengan Al Qur’an yang lebih baik? Ataukah hanya iri dan menginginkan sesuatu yang hanya terkait dengan harta yang dimiliki saudara kita, tetapi untuk Al Qur’an hati kita adem ayem saja ? Jika demikian kondisinya, maka itu adalah bukti lemahnya syu’ur Qur’ani (perasaan ingin membangkitkan diri dengan Al Qur’an) dalam diri kita.

Para salafush shalih dahulu, selalu berkompetisi dalam hal interaksi dengan Al Qur’an dan hal-hal yang bersifat ukhrawi. 

Telah menjadi tabiat dan karakter dasar manusia untuk senang berkompetisi, dan jika tidak diarahkan, maka kompetisi tersebut akan cenderung kepada hal-hal yang bersifat duniawi seperti harta, jabatan dan lawan jenis.

2. Rasulullah ﷺ dalam sabdanya menjanjikan bahwa setiap orang beriman yang bersahabat dengan Al Qur’an dijamin akan mendapat syafa’at dari Al Qur’an : “Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat menjadi pemberi syafa’at bagi orang-orang yang dahulu bersahabat dengannya.”(HR. Muslim).

Tanyakan pada diri kita masing-masing, sudahkan kita menjadi sahabat Al Qur’an ? Benarkah di akhirat nanti kita berharap akan mendapat syafa’at dari Al Qur’an ? Alangkah sengsaranya kita bila di akhirat tanpa syafa’at, karena “…Tidak ada yang dapat memberi syafa’at kecuali atas seizin Allah…” (QS Al-Baqarah : 255)

3. Kualitas iman kita diukur dengan sejauh mana kualitas dan kuantitas interaksi kita dengan Al Qur’an. Apakah kita masih bersikap masa bodoh dan tidak merasa sedih jika dalam sebulan tidak mengkhatamkan Al Qur’an ? Adakah perasaan sedih dalam hati jika kita tidak punya hafalan ayat-ayat Al Qur’an ? Sedihkah kita karena awam atau buta sama sekali dengan kandungan dan makna Al Qur’an ? Jika belum, maka dikhawatirkan kitalah yang disebut Rasulullah menjadi orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai mahjuuran. Allah berfirman :
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang diabaikan.’ ”. (QS Al-Furqan : 30)

4. Pernahkah kita menghitung tentang berapa banyak informasi tentang hal-hal yang bersifat duniawi yang ada di kepala kita dibandingkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Al Qur’an ? Jika pengetahuan kita tentang Al Qur’an lebih banyak maka bersyukurlah, jika tidak maka segera bertaubatlah kepada Allah ﷻ dan segera upayakan untuk kembali kepada Al Qur’an agar kita tidak dikecam oleh Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman :
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (QS. Ar-Ruum : 7)

5. Sabda Rasulullah ﷺ :
“Barangsiapa yang belajar Al Qur’an dan mengamalkannya akan diberikan kepada orang tuanya pada hari kiamat mahkota yang cahanya lebih indah daripada cahaya matahari. Kedua orang tua itu akan berkata, ‘Mengapa kami diberi ini?’ Maka dijawab, ‘Karena anakmu yang telah mempelajari Al Qur’an’". (HR Abu Dawud, Ahmad & Al Hakim)

Tidakkah hadits tersebut menggugah kita sebagai orang tua untuk memberi perhatian yang lebih pada anak dalam hal pendidikan Al Qur’annya ? Bagaimana mungkin seorang anak dapat mencintai Allah ﷻ kalau tidak dapat menikmati shalat dengan baik ? Bagaimana mungkin dapat shalat dengan baik kalau kemampuannya dalam berinteraksi dengan Al Qur’an, khususnya hafalan, lemah dan terbatas ? 

Jangan sampai kita hanya kecewa bila anak tak mampu berbahasa Inggris atau menggunakan komputer, tetapi santai saja terhadap keterbatasannya dalam masalah yang terkait dengan Al Qur’an.

Isi Al Qur’an sesungguhnya menjelaskan bagaimana semua urusan dunia itu bisa mengantarkan manusia kepada suksesnya urusan akhirat. 

Kita memang tidak ingin menjadi orang yang dekat dengan Al Qur’an hanya terbatas pada huruf-hurufnya saja, akan tetapi jauh dari dari ruh Al-Qur’an itu sendiri. Kita ingin menjadi hamba yang utuh interaksinya dengan Al Qur`an, Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar