Jumat, 13 Januari 2017

Belajar Dari Mukmin Yang Tinggi Semangat Jihadnya

   



"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah : 111)

Umumnya ayat tersebut sering dibahas berkaitan dengan motivasi berjihad di jalan Allah. Namun kali ini marilah kita memahaminya dari sisi yang lain. Bahwa ayat diatas menggambarkan keyakinan yang begitu dalam yang ada pada diri orang-orang yang beriman terhadap nikmat dan keindahan surga. Keyakinan yang amat kuat dan mendalam itulah yang akan memotivasi siapapun untuk bersusah payah dalam berjihad demi keyakinannya terhadap surga yang telah dijanjikan Allah 
Beberapa mujahid yang keyakinannya terhadap surga begitu tinggi antara lain:
  • Abu Thalhah radhiyallahu 'anhu, walaupun beliau berusia 90 tahun tetap memacu dirinya untuk turut serta dalam jihad.
  • ‘Umair bin Al-Humam radhiyallahu 'anhu, yang segera menghentikan makannya karena tidak sabar ingin berjihad pada perang Badar.
  • Hanzhalah radhiyallahu 'anhu, yang segera bergegas berangkat berjihad sehingga lupa mandi junub, lalu ketika para sahabat melihat ada tetesan air keluar dari telinga jasadnya yang mulia, Rasulullah  menjelaskan bahwa jenazahnya telah dimandikan oleh para malaikat.
lalu dari manakah semangat juang luar biasa ini ? Semangat itu berasal dari kerinduan terhadap surga yang dijanjikan oleh Allah ﷻ.
Jika saat ini kita telah dikaruniai oleh Allah kedekatan dengan Al Qur`an, apakah dalam bentuk membaca, menghafal, mengajarkannya, mengkajinya dan berbagai bentuk lainnya, maka tantangannya adalah bagaimana kita bisa bertahan dalam karunia Allah itu dalam kurun waktu yang panjang, bahkan sampai akhir hayat ? Jawabannya adalah kembali kepada harapan apa yang selalu kita rindukan dari Allah .
Bila saat ini kita aktif dalam kegiatan berinteraksi dengan Al Qur`an, tanyakan pada diri kita masing-masing: keyakinan apakah yang sesungguhnya melatarbelakangi kegiatan ini sehingga harus dipertahankan sedemikian rupa? Jika belum ada, kita harus segera mencarinya. 
Berikut ini adalah beberapa contoh keyakinan yang melatarbelakangi bersama Al Qur`an.

  • Keyakinan sebagian orang yang sudah lanjut usia, atau mereka yang hidup di kampung, jauh dari pengaruh ghazwul fikr dalam hidup dengan Al Qur`an. Biasanya hal tersebut berasal dari keyakinan mereka akan balasan pahala dan keutamaan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada orang yang mendekatkan diri kepada Allah melalui Al Qur`an.
  • Keyakinan para orientalis barat dalam mempelajari Al-Qur’an. Jika mereka menguasai semua literatur Islam, mereka yakin akan lebih leluasa untuk memutarbalikkan nilai-nilai Islam dari nash-nash sesungguhnya, sehingga mereka bisa mengalahkan, menugasai dan menjajah umat Islam dalam kurun waktu yang lama.
  • Keyakinan para Qori’ dalam meraih kejuaraan MTQ.

Berbekal keyakinan itulah, mereka begitu sabar dalam meraih apa yang mereka inginkan. Tantangannya adalah bagaimana menumbuhkan sebuah keyakinan yang dapat menghasilkan energi sekuat yang dimiliki oleh orang-orang tersebut di atas.
Ada sebuah realita pada sebuah komunitas yang paham tentang pentingnya Al Qur`an dalam proses aktivitas da’wah dan tarbiyah, bahkan terlibat aktif di dalamnya, namun minim dan lemah semangat dan keyakinannya dalam meraih kemampuan berinteraksi dengan Al Qur`an. Bagi kelompok ini, baru menghafal juz 30 saja masih dirasakan sebagai beban yang nyaris tidak bisa dilaksanakan . Jika demikian halnya, lalu bagaimana dengan tantangan dakwah yang jauh lebih berat dan lebih besar daripada itu ? Semoga Allah ﷻ senantiasa menunjukkan jalan yang Ia ridhai untuk kita semua. 
Analisa dari fenomena tersebut adalah:
  • Belum terbentuk suatu sistem kehidupan yang secara otomatis mendorong seseorang untuk melakukan apa yang diyakininya. Dalam proses tarbawi dan da’awi, seorang yang belum hafal 30 juz belum merasa ada yang kurang. Demikian pula kemampuan berinteraksi dengan Al-Qur’an belum menjadi sesuatu yang sangat didambakan dalam kehidupannya.
  • Belum ada penghargaan yang tinggi dari masyarakat terhadap orang yang lebih menguasai dan memiliki kemampuan ilmu tentang Al Qur`an,  sehingga muncul suatu kesan “untuk apa bersusah payah berkecimpung di bidang Al Qur`an jika masyarakat belum mengerti urgensinya ?”

Masyarakat sekarang lebih menghargai penceramah yang hanya bermodal keberanian berbicara dan popularitas, dibandingkan dengan guru Al Qur`an yang memiliki kekayaan pengetahuan tentang ayat-ayat Al-Qur’an.

Lemahnya motivasi untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an dan minimnya keyakinan terhadap fadhillah atau keutamaannya adalah penghambat perkembangan pendidikan Al Qur`an. Maka menjadi tugas kitalah untuk mengubah kedua fenomena tersebut, agar masyarakat menjadi lebih dekat dengan Al-Qur’an dan memahaminya dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar